Pengertian Mazhab Sahabi, Syar'u Man Qablana, Dalalatul Iqtiran Dan Kehujjahannya
Pengertian Mazhab Sahabi.
Yaitu pendapat para teman perihal aturan suatu kasus sepeninggal Rasululah saw. Contohnya, janji para teman perihal bab warisan untuk nenek seperenam. Pendapat Usman bin Affan perihal gugurnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya, pendapat Ibnu Abbas perihal tak diterimanya kesaksian anak kecil.
Kehujjahan Mazhab Sahabi.
Para ulama’ setuju bahwa pendapat teman yang disepakati para teman yang lain sanggup dijadikan sebagai hujjah dalam memutuskan aturan alasannya ialah dianggap sebagai ijmw’. Sedangkan pendapat teman yang berdasarkan kepada ijtihadd mereka sendiri para ulama’ berbeda pendapat:
Menurut sebagian ulama’, bahwa pendapat teman yang menyerupai itu sanggup dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka merupakan bahwa pendapat seorang teman kecukupan besar benar dan sangat kecil kecukupan salah. Karena mereka yang menyaksikan secara pribadi bagaimana syariat itu diturunkan dan mereka merupakan orang-orang yang selalu bersama dengan Rasulullah sesampai kemudian pendapat mereka lebih erat kepada kebenaran dari pada pendapat orang lain. Dalam hadis dikatakan bahwa sebaik-baik generasi merupakan generasi sobat.
“Sebaik-baik masa merupakan masa di mana saya hidup, kemudian masa kedua, kemudian masa ketiga." (HR. Muslaim dari Aisyah).
Menurut sebagian ulama’ yang lain bahwa pendapat teman yang menyerupai itu tak sanggup dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka merupakan bahwa kita harus berpegang kepada al qur’an, hadis dan dalil lain yang mengarah kepada teks al qur’an dan hadis. Sementara pendapat teman tak termasuk bab itu. Ijtihadd dengan nalar sanggup kecukupan benar sanggup kecukupan salah, baik itu pendapat teman inginpun pendapat lainya. Meskipun bagi sobat, kecukupan salah sangatlah kecil.
Syar'u Man Qablana.
Pengertian Syar'u man qablana.
Syar'u man qablana atau syariat umat sebelum kita merupakan hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad yang diturunkan melalui para nabinya menyerupai seakan-akan fatwa nabi Musa, Ibrahim, Isa dan nabi-nabi yang lain.
Pembagian Syar’u man qablana
Syar’u man qablana terbagi menjadi :
1) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an atau hadis dan ada dalil yang menyatakan bahwa syariat itu berlaku untuk kita. Dalam hal ini para ulama’ setuju bahwa syariat mereka berlaku untuk kita, menyerupai diwajibkannya berpuasa dalam firman Allah:
2) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an melalui cerita atau diterangkan Rasulullah, tenamun ada dalil yang menyatakan bahwa syariat tersebut dihapus oleh syariat kita atau Islam. Dalam hal ini para ulama’ setuju bahwa syariat mereka tak berlaku untuk kita, menyerupai sabda Rasulullah saw:
“Dan ghanimah dihalalkan untuk kami, tak dihalalkan bagi umat sebelum kami”.
Dari hadis di atas diketahui bahwa ghanimah tak dihalalkan untuk umat sebelum rasulullah dan dihalalkan bagi umat Rasulullah saw.
3) Ajaran syariat umat sebelum kita yang tak di memutuskan oleh syariat kita, para ulama’ setuju hal itu bukan syariat bagi kita.
4) Syariat sebelum kita yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadis tenamun tak ada dalil yang menyatakan sebagai syariat kita. Sebagaimana firman Allah Swt.
“dan Kami telah memutuskan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) gotong royong jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, indera pendengaran dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tak memutuskan kasus berdasarkan apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu merupakan orang-orang yang zalim." (QS. Al Maidah : 45)
Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat apakah syariat tersebut dianggap sebagai syariat bagi kita ataukah tak?
Menurut sebagaian ulama’ menyerupai ulama’ Hanafi bahwa hal itu sebagai bab dari syariat kita. Mereka beralasan bahwa para ulama’ mewajibkan qisas dengan berdalil pada surat al maidah ayat 45, yang terang-terang itu merupakan syariat untuk bani Israil.
Mereka juga beralasan pada salah satu riwayat Muhamad bin Hasan bahwa nabi bersabda:
Lalu dia membaca ayat:
Padahal ayat tersebut ditujukan kepada nabi Musa
Menurut ulama’ Syafii bahwa hal itu bukan syariat bagi kita sesampai kemudian tak sanggup dijadikan sebagai hujjah, mereka beralasan bahwa syariat kita menghapus syariat sebelum kita.
Dalalatul Iqtiran.
Pengertian Dalalatul Iqtiran.
Dalalatul Iqtiran, secara bahasa berarti dalil yang bersama-sama (berbarengan).
Secara istilah merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan sesuatu yang disebut bersama-sama dalam satu ayat.
Contoh :
“Sempurnakanlah haji dan umrah alasannya ialah Allah”
Hukum umrah disamakan dengan haji yaitu wajib alasannya ialah disebut bersamaan.
Kehujahan Dalalatul Iqtiran.
Para ulama berbeda pendapat seputar Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.
1). Sejumlah ulama beropini bahwa dalalatul iqtiran tak sanggup dijadikan hujjah dengan alasan “Sesungguhnya bersama-sama dalam suatu himpunan tak mesti bersamaan dalam hukum”
2). Sebagian ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah menyampaikan bahwa Dalalatul Iqtiran sanggup dijadikan hujjah dengan alasan: "Sesungguhnya athaf itu menghendaki makna musyarakat atau kebersamaan."
Demikianlah sobat bacaan madani ulasan perihal pengertian Mazhab Sahabi, Syar'u man qablana, Dalalatul Iqtiran dan Kehujjahannya. Jangan lupa share artikel ini apabila bermanfaat dan kunjungi selalu kajian.me untuk update seputar kajian Islam lainnya kajian.me biar bermanfaat. Aamiin. Sumbernya dari bacaan madani
Yaitu pendapat para teman perihal aturan suatu kasus sepeninggal Rasululah saw. Contohnya, janji para teman perihal bab warisan untuk nenek seperenam. Pendapat Usman bin Affan perihal gugurnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya, pendapat Ibnu Abbas perihal tak diterimanya kesaksian anak kecil.
Kehujjahan Mazhab Sahabi.
Para ulama’ setuju bahwa pendapat teman yang disepakati para teman yang lain sanggup dijadikan sebagai hujjah dalam memutuskan aturan alasannya ialah dianggap sebagai ijmw’. Sedangkan pendapat teman yang berdasarkan kepada ijtihadd mereka sendiri para ulama’ berbeda pendapat:
Menurut sebagian ulama’, bahwa pendapat teman yang menyerupai itu sanggup dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka merupakan bahwa pendapat seorang teman kecukupan besar benar dan sangat kecil kecukupan salah. Karena mereka yang menyaksikan secara pribadi bagaimana syariat itu diturunkan dan mereka merupakan orang-orang yang selalu bersama dengan Rasulullah sesampai kemudian pendapat mereka lebih erat kepada kebenaran dari pada pendapat orang lain. Dalam hadis dikatakan bahwa sebaik-baik generasi merupakan generasi sobat.
خَيْرُ الْقُرُوْنِ الْقَرْنُ الَّذِيْ أَنَا فِيْهِ ثُمَّ الثَّانِى ثُمَّ الثَّالِثُ ( رواه مسلم عن عائشة
“Sebaik-baik masa merupakan masa di mana saya hidup, kemudian masa kedua, kemudian masa ketiga." (HR. Muslaim dari Aisyah).
Menurut sebagian ulama’ yang lain bahwa pendapat teman yang menyerupai itu tak sanggup dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka merupakan bahwa kita harus berpegang kepada al qur’an, hadis dan dalil lain yang mengarah kepada teks al qur’an dan hadis. Sementara pendapat teman tak termasuk bab itu. Ijtihadd dengan nalar sanggup kecukupan benar sanggup kecukupan salah, baik itu pendapat teman inginpun pendapat lainya. Meskipun bagi sobat, kecukupan salah sangatlah kecil.
Syar'u Man Qablana.
Pengertian Syar'u man qablana.
Syar'u man qablana atau syariat umat sebelum kita merupakan hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad yang diturunkan melalui para nabinya menyerupai seakan-akan fatwa nabi Musa, Ibrahim, Isa dan nabi-nabi yang lain.
Pembagian Syar’u man qablana
Syar’u man qablana terbagi menjadi :
1) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an atau hadis dan ada dalil yang menyatakan bahwa syariat itu berlaku untuk kita. Dalam hal ini para ulama’ setuju bahwa syariat mereka berlaku untuk kita, menyerupai diwajibkannya berpuasa dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصَّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ( البقرة : 183)
2) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an melalui cerita atau diterangkan Rasulullah, tenamun ada dalil yang menyatakan bahwa syariat tersebut dihapus oleh syariat kita atau Islam. Dalam hal ini para ulama’ setuju bahwa syariat mereka tak berlaku untuk kita, menyerupai sabda Rasulullah saw:
وَأُحِلَّتْ لِى الغَنَائِمُ , وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَد قَبْلِى
“Dan ghanimah dihalalkan untuk kami, tak dihalalkan bagi umat sebelum kami”.
Dari hadis di atas diketahui bahwa ghanimah tak dihalalkan untuk umat sebelum rasulullah dan dihalalkan bagi umat Rasulullah saw.
3) Ajaran syariat umat sebelum kita yang tak di memutuskan oleh syariat kita, para ulama’ setuju hal itu bukan syariat bagi kita.
4) Syariat sebelum kita yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadis tenamun tak ada dalil yang menyatakan sebagai syariat kita. Sebagaimana firman Allah Swt.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“dan Kami telah memutuskan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) gotong royong jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, indera pendengaran dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tak memutuskan kasus berdasarkan apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu merupakan orang-orang yang zalim." (QS. Al Maidah : 45)
Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat apakah syariat tersebut dianggap sebagai syariat bagi kita ataukah tak?
Menurut sebagaian ulama’ menyerupai ulama’ Hanafi bahwa hal itu sebagai bab dari syariat kita. Mereka beralasan bahwa para ulama’ mewajibkan qisas dengan berdalil pada surat al maidah ayat 45, yang terang-terang itu merupakan syariat untuk bani Israil.
Mereka juga beralasan pada salah satu riwayat Muhamad bin Hasan bahwa nabi bersabda:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّيْهَا إِذَا ذَكَرَهَا "
Lalu dia membaca ayat:
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى
Padahal ayat tersebut ditujukan kepada nabi Musa
Menurut ulama’ Syafii bahwa hal itu bukan syariat bagi kita sesampai kemudian tak sanggup dijadikan sebagai hujjah, mereka beralasan bahwa syariat kita menghapus syariat sebelum kita.
Dalalatul Iqtiran.
Pengertian Dalalatul Iqtiran.
Dalalatul Iqtiran, secara bahasa berarti dalil yang bersama-sama (berbarengan).
Secara istilah merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan sesuatu yang disebut bersama-sama dalam satu ayat.
Contoh :
وَأَتِمُّوْا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ ( البقرة 196
“Sempurnakanlah haji dan umrah alasannya ialah Allah”
Hukum umrah disamakan dengan haji yaitu wajib alasannya ialah disebut bersamaan.
Kehujahan Dalalatul Iqtiran.
Para ulama berbeda pendapat seputar Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.
1). Sejumlah ulama beropini bahwa dalalatul iqtiran tak sanggup dijadikan hujjah dengan alasan “Sesungguhnya bersama-sama dalam suatu himpunan tak mesti bersamaan dalam hukum”
2). Sebagian ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah menyampaikan bahwa Dalalatul Iqtiran sanggup dijadikan hujjah dengan alasan: "Sesungguhnya athaf itu menghendaki makna musyarakat atau kebersamaan."
Demikianlah sobat bacaan madani ulasan perihal pengertian Mazhab Sahabi, Syar'u man qablana, Dalalatul Iqtiran dan Kehujjahannya. Jangan lupa share artikel ini apabila bermanfaat dan kunjungi selalu kajian.me untuk update seputar kajian Islam lainnya kajian.me biar bermanfaat. Aamiin. Sumbernya dari bacaan madani
0 Response to "Pengertian Mazhab Sahabi, Syar'u Man Qablana, Dalalatul Iqtiran Dan Kehujjahannya"
Posting Komentar